Pittsburgh - Para ilmuwan berhasil membuktikan bahwa hipotesis yang menganggap gejolak aktivitas matahari menyebabkan pemanasan global tidaklah benar. Peter Adams, peneliti dari Carnegie Mellon University dan Jeff Pierce dari Dalhousie University di Halifax, Kanada, berhasil mengembangkan sebuah model untuk menguji hipotesis kontroversial tersebut.
Hipotesis yang mereka uji tersebut menyatakan peningkatan aktivitas matahari mengurangi awan melalui perubahan cahaya kosmis. Ketika awan semakin sedikit, kian banyak cahaya matahari yang masuk, menyebabkan bumi menghangat. Beberapa orang yang skeptis terhadap perubahan iklim mencoba menggunakan hipotesis ini untuk mengangkat gagasan bahwa gas rumah kaca bukanlah biang keladi pemanasan global seperti yang diyakini sebagian besar ilmuwan.
Dalam riset yang dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters, dan jurnal Science awal Mei lalu, Adams and Pierce melaporkan bahwa simulasi atmosfer pertama tentang perubahan formasi partikel dan ion-ion atmosfer yang dihasilkan oleh variasi yang terjadi di matahari dan sinar kosmis. Mereka menemukan bahwa perubahan konsentrasi
partikel yang mempengaruhi awan terlalu kecil 100 kali lipat untuk bisa mempengaruhi iklim.
"Sampai saat ini, para pendukung hipotesis ini dapat menyatakan bahwa matahari bisa jadi adalah penyebab pemanasan global karena tak ada satu pun yang memiliki pemodelan komputer untuk benar-benar mengetes klaim itu," kata Adams, dosen teknik sipil dan lingkungan di Carnegie Mellon.
Problem dasar hipotesis itu, kata Adams, adalah variasi matahari yang kemungkinan mengubah tingkat pembentukan partikel baru kurang dari 30 persen di atmosfer. "Partikel ini juga luar biasa kecil dan perlu tumbuh sebelum mereka bisa mempengaruhi awan," katanya. "Sebagian besar hancur sebelum bisa melakukannya."
Adams dan Pierce yakin hasil temuan mereka bisa
membungkam hipotesis itu. "Tak ada simulasi komputer tentang sesuatu serumit atmosfer yang benar-benar sempurna," katanya. "Para pendukung
hipotesis sinar kosmis mungkin akan mencoba mempertanyakan hasil simulasi ini, namun efeknya dalam model kami terlalu lemah sehingga sulit bagi
kami untuk melihat hasil
mendasar ini berubah." (tempointeraktif)
Hipotesis yang mereka uji tersebut menyatakan peningkatan aktivitas matahari mengurangi awan melalui perubahan cahaya kosmis. Ketika awan semakin sedikit, kian banyak cahaya matahari yang masuk, menyebabkan bumi menghangat. Beberapa orang yang skeptis terhadap perubahan iklim mencoba menggunakan hipotesis ini untuk mengangkat gagasan bahwa gas rumah kaca bukanlah biang keladi pemanasan global seperti yang diyakini sebagian besar ilmuwan.
Dalam riset yang dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters, dan jurnal Science awal Mei lalu, Adams and Pierce melaporkan bahwa simulasi atmosfer pertama tentang perubahan formasi partikel dan ion-ion atmosfer yang dihasilkan oleh variasi yang terjadi di matahari dan sinar kosmis. Mereka menemukan bahwa perubahan konsentrasi
partikel yang mempengaruhi awan terlalu kecil 100 kali lipat untuk bisa mempengaruhi iklim.
"Sampai saat ini, para pendukung hipotesis ini dapat menyatakan bahwa matahari bisa jadi adalah penyebab pemanasan global karena tak ada satu pun yang memiliki pemodelan komputer untuk benar-benar mengetes klaim itu," kata Adams, dosen teknik sipil dan lingkungan di Carnegie Mellon.
Problem dasar hipotesis itu, kata Adams, adalah variasi matahari yang kemungkinan mengubah tingkat pembentukan partikel baru kurang dari 30 persen di atmosfer. "Partikel ini juga luar biasa kecil dan perlu tumbuh sebelum mereka bisa mempengaruhi awan," katanya. "Sebagian besar hancur sebelum bisa melakukannya."
Adams dan Pierce yakin hasil temuan mereka bisa
membungkam hipotesis itu. "Tak ada simulasi komputer tentang sesuatu serumit atmosfer yang benar-benar sempurna," katanya. "Para pendukung
hipotesis sinar kosmis mungkin akan mencoba mempertanyakan hasil simulasi ini, namun efeknya dalam model kami terlalu lemah sehingga sulit bagi
kami untuk melihat hasil
mendasar ini berubah." (tempointeraktif)